Friday, March 31, 2017

Resensi Buku "Ayah..."



Resensi Novel "Ayah..." karya Irfan Hamka
Buku karya Irfan Hamka 
Diskripsi Buku
Judul : Ayah....
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit
Ketebalan buku : 321 halaman
Tahun terbit : 2013
Edisi : cetakan I
ISBN : 9786028997713

Sinopsis buku
Buku berjudul “Ayah...” menceritakan pengalaman penulis (Irfan Hamka) tentang kenangannya bersama ayahandanya Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim atau Buya Hamka.

Saat membaca buku ini, saya seperti membaca karya sastra yang pernah “mocer” tahun 90 an seperti novel berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” atau Siti Nurbaya yang pernah saya baca. Ini karena di awal cerita, Irfan banyak menggambarkan lanskap Sumatera dan kondisi saat masih jaman penjajahan.

Saya membagi resensi buku ini menjadi empat bab besar dari beberapa bab yang ada di novel.

Bab awal novel ini menggambarkan bagaimana perjuangan seorang Ayah mendidik dan menggebleng anak-anaknya (10 anak) dalam kondisi Indonesia masih di jajah Belanda. Perjuangan Buya agar selamat dari kejaran Belanda dan kerelaan Buya dan Umi (istri Buya sekaligus ibu kepada penulis) merelakan anak-anaknya merantau demi mendapatkan pendidikan.

Bab kedua menceritakan kisah Buya, Umi dan Irfan menjalankan ibadah haji. Banyak hal menarik saat membaca kisah perjalanan haji ini. Seperti perjuangan calon jamaah haji menggunakan kapal laut Mae Abeto. Para calon jemaah haji benar-benar merasakan menjadi “calon jemaah” karena perjalanan panjang mengarungi lautan (taruhannya nyawa).

Selain menceritakan tentang rentetan pengalaman selama ibadah haji, Irfan juga menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa negara bersama Buya dan Uminya setelah menunaikan ibadah haji. Perjalanan Irfan ke Mesir, Suriah, Lebanon, Irak dan Kuwait sangat dramatis. Irfan bahkan menyebutnya sebagai perjalanan menjemput maut. Mulai dari terbang melewati daerah kosong udara, di kejar badai pasir dan air bah.  

Bab ketiga, Irfan banyak bercerita tentang keseharian Uminya, Hj. Siti Raham Rasul. Umi, panggilan Irfan dan saudaranya, adalah sosok yang tegar, tegas, pintar dan sayang kepada sesama. Tegar karena tidak pernah mengeluh selama mengasuh 10 anak dalam berbagai kondisi (masuk keluar hutan, sering diajak pindah rumah oleh Buya). Ketegasannya terlihat saat Irfan dan adiknya hilang di stasiun kereta. Pintar karena selalu memberikan saran terbaik kepada Buya. Kasih sayangnya tidak hanya untuk keluarganya, tapi juga dirasakan oleh tukang pisang dan tukang susu. Dan Umi selalu menjalin tali silaturahmi.

Bab keempat adalah masa kecil Buya dan karya-karyanya. Buya hanya merasakan bangku sekolah di Sekolah Desa itupun tidak tamat. Ketika berusia 13-14 tahun, Buya merantau ke Jawa dan menimba ilmu dari tokoh-tokoh ternama di Jawa. Setelah mendapatkan ilmu (tanpa pendidikan formal) yang dirasa mumpuni, Buya dipanggil kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di sana. Namun karena tidak memiliki gelar dan ijasah, ilmu yang Buya dapatkan di Jawa disepelekan oleh warga kampungnya. Lalu Buya nekad mencari ilmu agama yang lebih mumpuni yakni belajar langsung kepada sumbernya. Buya nekad merantau ke Mekkah.

Karena niatnya yang selalu karena Allah, sepulang dari Mekkah Buya memutuskan untuk kembali berdakwah. Buya berdakwah dengan menjadi sastrawan dan ulama.

Keunggulan novel ini adalah kita harus terus mencari ilmu walaupun tidak memungkinkan di lembaga formal. Bayangkan bagaimana sosok Buya kecil yang tidak tamat sekolah hingga bisa menyandang gelar profesor. 

Kekurangan novel ini : pembaca agak dibuat bingung dengan loncatan plot cerita di beberapa bab.