Buku karya Irfan Hamka |
Diskripsi Buku
Judul : Ayah....
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit
Ketebalan buku : 321 halaman
Tahun terbit : 2013
Edisi : cetakan I
ISBN : 9786028997713
Sinopsis buku
Buku berjudul “Ayah...” menceritakan
pengalaman penulis (Irfan Hamka) tentang kenangannya bersama ayahandanya
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim atau Buya Hamka.
Saat membaca buku ini, saya seperti
membaca karya sastra yang pernah “mocer” tahun 90 an seperti novel berjudul “Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck” atau Siti Nurbaya yang pernah saya baca. Ini karena di
awal cerita, Irfan banyak menggambarkan lanskap Sumatera dan kondisi saat masih
jaman penjajahan.
Saya membagi resensi buku ini menjadi
empat bab besar dari beberapa bab yang ada di novel.
Bab awal novel ini menggambarkan
bagaimana perjuangan seorang Ayah mendidik dan menggebleng anak-anaknya (10
anak) dalam kondisi Indonesia masih di jajah Belanda. Perjuangan Buya agar
selamat dari kejaran Belanda dan kerelaan Buya dan Umi (istri Buya sekaligus
ibu kepada penulis) merelakan anak-anaknya merantau demi mendapatkan
pendidikan.
Bab kedua menceritakan kisah Buya, Umi
dan Irfan menjalankan ibadah haji. Banyak hal menarik saat membaca kisah
perjalanan haji ini. Seperti perjuangan calon jamaah haji menggunakan kapal
laut Mae Abeto. Para calon jemaah haji benar-benar merasakan menjadi “calon
jemaah” karena perjalanan panjang mengarungi lautan (taruhannya nyawa).
Selain menceritakan tentang rentetan
pengalaman selama ibadah haji, Irfan juga menceritakan pengalamannya
mengunjungi beberapa negara bersama Buya dan Uminya setelah menunaikan ibadah haji.
Perjalanan Irfan ke Mesir, Suriah, Lebanon, Irak dan Kuwait sangat dramatis.
Irfan bahkan menyebutnya sebagai perjalanan menjemput maut. Mulai dari terbang melewati
daerah kosong udara, di kejar badai pasir dan air bah.
Bab ketiga, Irfan banyak bercerita
tentang keseharian Uminya, Hj. Siti Raham Rasul. Umi, panggilan Irfan dan
saudaranya, adalah sosok yang tegar, tegas, pintar dan sayang kepada sesama.
Tegar karena tidak pernah mengeluh selama mengasuh 10 anak dalam berbagai
kondisi (masuk keluar hutan, sering diajak pindah rumah oleh Buya).
Ketegasannya terlihat saat Irfan dan adiknya hilang di stasiun kereta. Pintar
karena selalu memberikan saran terbaik kepada Buya. Kasih sayangnya tidak hanya
untuk keluarganya, tapi juga dirasakan oleh tukang pisang dan tukang susu. Dan Umi
selalu menjalin tali silaturahmi.
Bab keempat adalah masa kecil Buya dan
karya-karyanya. Buya hanya merasakan bangku sekolah di Sekolah Desa itupun
tidak tamat. Ketika berusia 13-14 tahun, Buya merantau ke Jawa dan menimba ilmu
dari tokoh-tokoh ternama di Jawa. Setelah mendapatkan ilmu (tanpa pendidikan
formal) yang dirasa mumpuni, Buya dipanggil kembali ke kampung halaman untuk
mengabdi di sana. Namun karena tidak memiliki gelar dan ijasah, ilmu yang Buya
dapatkan di Jawa disepelekan oleh warga kampungnya. Lalu Buya nekad mencari
ilmu agama yang lebih mumpuni yakni belajar langsung kepada sumbernya. Buya
nekad merantau ke Mekkah.
Karena niatnya yang selalu karena Allah,
sepulang dari Mekkah Buya memutuskan untuk kembali berdakwah. Buya berdakwah
dengan menjadi sastrawan dan ulama.
Keunggulan novel ini adalah kita harus terus
mencari ilmu walaupun tidak memungkinkan di lembaga formal. Bayangkan bagaimana
sosok Buya kecil yang tidak tamat sekolah hingga bisa menyandang gelar
profesor.
Kekurangan novel ini : pembaca agak dibuat bingung dengan loncatan
plot cerita di beberapa bab.